Selasa, 24 November 2009

Kontroversi HUKUM ISLAM

Penetapan Qanun Jinayat di Aceh telah menimbulkan pro dan kontra baik sebelum maupun setelah disahkan oleh DPR Aceh periode 2004-2009, perdebatan ini, khususnya menyangkut jenis hukuman bagi pelaku zina, dimana salah satu pasal yang diperdebatkan dan dipertentangkan adalah mengenai uqubat’ rajam, yaitu dihukum mati dengan dilempar batu bagi pelaku zina yang sudah menikah dan uqubat cambuk 100 kali bagi pelaku zina yang belum menikah, dengan disaksikan oleh orang banyak.

Substansi Qanun tersebut menimbulkan tanda tanya, apakah model hukuman mati dengan melempar batu dan cambuk sebanyak 100 kali dihadapan khalayak ramai bertentangan dengan HAM dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya? Kalangan aktifis HAM dan Perempuan menyatakan bahwa jenis hukuman rajam dan cambuk ini melanggar HAM, seperti dikatakan oleh Ifdhal Kasim bahwa “pemberlakuan hukum rajam, selain melanggar Konvensi International anti Penyiksaan yang diratifikasi pada 1998 juga melanggar hukum positif yang berlaku di Indonesia”. Sementara yang lain menyatakan bahwa Qanun ini tidak bertentangan karena sudah diatur dan diamanatkan oleh undang-undang. Menariknya kontroversi terhadap substansi Qanun tersebut tidak hanya dari kalangan LSM versus Mahasiswa, tapi juga kalangan legislative dengan eksekutif yang tidak mencapai suatu kesepakatan terhadap substansi jenis hukuman tersebut untuk diterapkan pada saat ini.

Islam dan Hukum Rajam
Di dalam Islam, penerapan hukum rajam pertama kali diterapkan sebelum terjadinya penaklukan Mekkah (fathul Mekkah), dan sebelum turunnya surah An-Nur ayat 2 tentang jilid (cambuk), yaitu berdasarkan riwayat dalam sunan Ibn Majah bahwa seorang yang bernama Ma’iz mengadu dan mengaku kepada Rasulullah bahwa ia telah melakukan perbuatan zina. Namun Rasul tidak menghiraukan pengaduannya dan memalingkan muka daripadanya, hingga ia mendatangi dan mengulangi lagi pengakuannya kepada Rasul sampai empat kali, kemudian Rasul menyuruhnya untuk mencari 4 orang saksi, setelah membawa 4 orang saksinya, Rasul bertanya “apa kamu sudah gila?” dijawab “tidak”. Kemudian Rasul bertanya lagi, “apa kamu sudah pernah menikah?” dijawab “ya”, “apakah kamu tahu apa itu zina?” ia menjawab “tahu ya Rasullullah” kalau begitu, bawalah orang ini dan rajamlah”. Ketika hukuman mati dengan dilempari batu itu dilaksanakan, tiba-tiba Maiz merasa kesakitan dan melarikan diri, sebahagian sahabat mengejar dan melempari lagi sampai ia meninggal, setelah itu mereka menghadap Rasul dan melaporkan kejadian tadi, namun Rasul bersabda “mengapa tidak kalian biarkan saja Maiz lari saja?”

Melihat dari literature sejarah, hukum rajam yang pernah dipraktekkan pada masa kerasullan tersebut, tidak satupun melalui penangkapan oleh lembaga Negara, melainkan semuanya karena ketulusan pelaku sebagai seorang yang beriman untuk membebaskan diri dari dosa besar dan api neraka. Namun demikian, Rasul juga tidak dengan mudahnya memutuskan dan menerapkan hukum tersebut, artinya hukum rajam merupakan suatu bentuk penyerahan diri dan bentuk taubat dari seorang hamba agar bebas dari dosa besar, dan inilah sebagai perwujudan ketaqwaan dan hubungan transedental hamba dengan Tuhan-Nya, terlepas bagaimanapun bentuk hukuman tersebut, sejauh ketentuan hukum itu bersumber dari suatu kenyakinan bahwa Allah SWT, sebagai segala sumber hukum dan sumber dari segala HAM.

Namun jika pelaksanaan hukuman tersebut diambil alih oleh Negara dalam menegakkan supremasi hukum yang telah dipositifkan itu, bagaimana jika pelaku zina yang terbukti sudah melakukan taubat nasuha, haruskan Negara juga merajamnya? Kalau Negara harus melakukannya dengan alasan sebagai penegakan supremasi hukum, kenapa juga Rasul mengatakan diakhir sabdanya “mengapa tidak kalian biarkan saja Maiz lari?”. Dimana, dihadis yang lain Rasul juga bersabda: “Tidakkah kamu membiarkannya, kemungkinan dia bertaubat, lalu Allah menerima taubatnya” (HR.Muslim). Bukankah ini menunjukkan gugurnya had (hukuman) bagi seseorang yang telah bertaubat?

Perdebatan dan pertentangan mengenai hukum rajam terutama oleh pelagiat HAM pada dasarnya adalah mengenai hukuman dengan melempar batu sampai mati, dimana bentuk hukuman ini dianggap sebagai bentuk/jenis hukuman yang kejam, primitive, dan tidak manusiawi. Jenis hukuman ini juga menimbulkan pertanyaan, apa sebenarnya hakikat dan tujuan menghukum mati dengan batu dalam kasus perzinaan? Jika jawabannya adalah karena itulah ketentuan hukum yang telah ditetapkan melalui hadist dan pernah dipraktekkan pada masa Rasul, maka hal tersebut tidak perlu diperdebatkan, karena sebagai sebuah bentuk ta’abbud (ibadah) seorang hamba kepada hukum Tuhannya. Namun, sebagian ahli hadispun menyatakan bahwa hadis yang meriwayatkan mengenai hukum rajam tersebut dirawi oleh satu orang perawi yaitu Ubadah bin Ash Samit, sehingga kedudukan hadis ini adalah ahad, yang sifatnya tidak qath’i (mutlak). Perdebatan lainnya adalah setelah ayat Al-Qur’an surah an-Nur ayat 2 turun, hukum rajam tidak pernah lagi diterapkan selama masa kerasullan. Sehingga hal menjadi pertentangan dan kontroversi diantara para ahli hukum Islam, apakah penetapan hukum bagi penzina muhsan juga didasarkan pada teks umum ayat al-Qur’an yang qath’i atau didasarkan kepada hadis ahad yang zhanni?

Meskipun sebagian fuqaha menyatakan bahwa hadis ahad dapat dijadikan sebagai dalil dan landasan dalam menetapkan suatu hukum sejauh ada ijmak (kesepakatan) para mujtahid, namun dalam penetapan hukum rajam di Aceh kesepakatan secara menyeluruh para mujtahid (ijmak) tersebut tidak pernah terwujud, hanya kesepakatan ahli politik saja di majelis dewan rakyat Aceh yang prosesnya juga dilakukan secara terburu-buru.

Aceh Menuju Syari’at Kaffah?

Penetapan Qanun jinayat di Aceh, merupakan sebuah babak baru untuk menuju penerapan hukum Islam secara kaffah (sempurna) dalam bidang hukum pidana (jinayat) dalam sebuah Negara yang sekuler. Namun cita-cita membangun konsep yang damai dan rahmatallill’alamin terkesan telah menimbulkan ketakutan dari beberapa kalangan jika membayangkan hukum rajam itu dilaksanakan, sehingga Taufik Adnan Amal dalam bukunya “Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Negeria” menulis bahwa pada tataran praktis, penerapan syariat Islam seringkali ‘gagal’ dalam mengemban misi kemanusian yang jelas termaktub dalam syariat. Syariat yang diberlakukan kemudian hanya berfungsi memberi ketakutan dari pada kedamaian, menegaskan pengekangan dari pada menjamin kebebasan, anti kemajuan dari pada mendorong kemajuan. Situasi yang muncul, pada giliran berikutnya, adalah kecenderungan defensif dan sikap frontal yang berlebihan atas apa-apa yang dianggap berbau barat dan bukan dari Islam. Di tengah percaturan politik global, politik syariat Islam tak ubahnya sebuah fasisme kultural.

Bercermin pada penerapan Qanun khalwat sejak 2003 lalu, yang juga menimbulkan berbagai kontroversi dalam pelaksanaannya, dimana yang sering kali menjadi terhukum adalah kaum lemah yang tak punya kekuasaan, namun bagi mereka yang punya jabatan dan kekuasaan sering tak tersentuh oleh penegak hukum. Hal ini dikhawatirkan juga dalam proses implementasi Qanun jinayat ini, karena ketentuan dalam Qanun Acara Jinayat, yang berwenang untuk menangkap, memeriksa dan menuntut pelaku jinayat tersebut adalah lembaga hukum dalam sistem Negara sekuler, yaitu kepolisian dan kejaksaan Republik Indonesia.

Bila kita mengunakan analisis Friedman, secara kongkrit sebuah hukum akan efektif jika mempunyai visi yang jelas, secara kongkrit visi tersebut harus diwujudkan dalam tiga elemen penting, yaitu substansi hukum, aparat hukum dan budaya hukum. Ketiga hal ini terkait satu sama lain dalam upaya penegakan hukum tersebut. Dalam konteks budaya hukum, tagaknya sebuah hukum jika ada kesadaran baik penegak hukum (pemerintah) itu sendiri dan masyarakat secara umum. Melihat secara substansi hukum terhadap qanun jinayat tersebut saja sudah terjadi pertentangan antara pembuat legilasi dengan pelaksana, bagaimana sebuah produk itu bisa efektif, begitu juga dengan aparat hukum dan juga budaya hukum yang masih lemah.

Sehingga, melihat kondisi seperti ini, Prof.Al-Yasa’ Abu Bakar dalam sebuah diskusi AJRC menyatakan bahwa hukum “khusus” jinayat itu idealnya diterapkan secara bertahap (tadarruj), artinya hukum diterapkan terlebih dahulu dalam bentuk ta’zir (membuat jera tubuh dan psikis) yaitu dengan hukuman cambuk, kemudian penghilangan anggota tubuh (amputasi/potong tangan) dan yang terakhir adalah penghilangan nyawa (hukuman mati), setelah upaya peningkatan akidah, akhlak melalui pendidikan dan kesejahteraan dilakukan secara menyeluruh. Namun dalam realitas, hukuman mati (rajam) telah disahkan, sementara hukuman potong tangan bagi pencuri (korupsi) tidak dimunculkan dalam Qanun jinayat tersebut, yang telah jelas ditetapkan oleh Allah dalam teks al-Qur’an, bukankah perbuatan mencuri adalah perbuatan dosa besar, tercela dan juga merugikan orang banyak, atau ada perbuatan yang dilindungi dari ketentuan hukum Tuhan. kaffahkah?Wallahu’alambhis
sawab